IHWAL KARYA SENI RUPA 'REMEH'
1. Karya Seni Rupa “BEYOND THE PURE ART”
Para pekota, “lawan” pedesa, telah membangun gap theory yang membentengi lingkaran teori seni rupa akdemis-otodidak. Tudingan para pekota selalu terarah kepada nihilnya nilai estetis karya para pedesa, dan dalam pandangan mereka, pekerjaan para pedesa tidak pernah terorganisir secara teoretis-akademis. Ketika para pekota di Barat beranggapan bahwa seni utama adalah seni lukis, seni patung, dan seni bangun (ditambah seni gambar dan puisi), maka para pekota di hampir semua belahan dunia pun memegang prinsip tersebut. Ketimpangan sikap sosial yang melatari pola teori Barat tidak begitu diperhatikan oleh para pelangsung dan pendukung teori tersebut. Padahal, di banyak tempat, karya seni rupa utama sangat beragam. Di Indonesia yang mengagungkan teori ketimpangan tadi, juga mengabaikan begitu banyak karya seni rupa anak bangsa yang bobot nilai estetis maupun simbolisnya sangat tinggi. Sehingga, ketika akan berbicara masalah estetika Indonesia, kesulitan yang dibangun dan dikedepankan adalah pertanyaan yang melemahkan semangat pencarian: “adakah teori estetika Nusantara yang bisa dijadikan landasan berpijak?”
Pada bagian tulisan ini dikutipkan secara utuh dua makalah yang ditulis Prof. Sudjoko dan Dr. Sanento Yuliman. Ini dimaksudkan untuk memperkaya bahan wacana yang agak berbeda landasan pikirnya dibanding teori umum yang telah dicomot tanpa saringan dari teori seni rupa Barat.
1.1 MENGULAS SENI NUSANTARA
Oleh Sudjoko
(Makalah dalam Dialog Kesenirupaan Indonesia: Eksistensi Seni Rupa dalam Perkembangan Ekonomi), di Gedung
Pameran Seni Rupa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 25 - 27 Februari 1992
Dampak Kata
Orang sekarang tidak tahu bahwa kata KRITIK itu disontek dari bahasa Barat (catatan kaki yang diubah: tanpa paham bahasa Barat, kita sekarang berhak menjadi sarjana, dan dosen. Dulu sih mustahil). Yang tahu pun mungkin tidak tahu dari kata apa: critic, critiek, kritisch, critique, critisize, critical, criticism .... yang maknanya seperti bunglon. Lalu apa itu ‘kritis’, ‘kritisi’ dsb.
Orang sekarang tidak tahu bahwa kata KRITIK itu disontek dari bahasa Barat (catatan kaki yang diubah: tanpa paham bahasa Barat, kita sekarang berhak menjadi sarjana, dan dosen. Dulu sih mustahil). Yang tahu pun mungkin tidak tahu dari kata apa: critic, critiek, kritisch, critique, critisize, critical, criticism .... yang maknanya seperti bunglon. Lalu apa itu ‘kritis’, ‘kritisi’ dsb.
Sontek
Orang yang tahu kritik seni di Barat bisa berkata, “Maksud kritik seni itu sebenarnya begini”. Dan “begini” itu yan nebeng maksud Barat itu, lengkap dengan aneka istilahnya dan teorinya (asal tidak salah mengerti). Tentu, sepanjang yang dapat kita cerna (Maklum bahasa Barat ..). Itu tentang arti ‘kritik seni’. Dan arti ‘disain’? Dalam suatu bincang disain di ITB yang dihadiri peminat dari berbagai kota, Solichin Gunawan, seorang ahli, menjawab kira-kira begini: “Wah, susah dijawab. Tiap tahun artinya berubah. Maka itu kita harus terus mengikuti literatur Barat terbaru. Kalau tidak, kita akan ketinggalan terus”.
Nyontek atau nebeng memang sangat perlu, sebab sering menguntungkan. Tetapi kalau tiap kali otak kita dibuat sesat atau diobrak-abrik oleh otak sibule, sudah waktunyalah kita mempertanyakan kedaulatan kita dalam berpikir. Otak ini cuma mau diatur orang manca atau bagaima-na? Cuma mau mulung sampah sono atau bagaimana? Apakah sengaja merasa keteteran itu ‘gengsi’?
Dr. Sugito (dosen Fakultas Kedokteran UI) pernah bertanya kepada saya: “Indonesianya patient apa?”. Jawab saya, “Pelara saja, atau pesakit”. Langsung saja pak Gito menjawab, “Salah! Di Barat sekarang, orang sehat juga disebut patient!”. Tuh, gara-gara menyembah istilah bule kita gampang sekali dibikin salah terus, dan linglung, dan ... bego.
Seni Baru
Ada kata lama yang ketambahan makna baru: SENI. Maknanya yang lama tetap berlaku, misalnya ‘air seni’. Makna barunya muncul sekitar tahun 1950, yang kemudian menetaskan tetembung seperti seperti ‘seniman’, ‘kesenian’, ‘pendidikan seni’, ‘film seni’, ‘nyeni’, dan belakangan ini ‘kritik seni’.
Orang Belanda sendiri yang mengajar ‘seni rupa’ di sini resminya tidak pernah menggunakan istilah kunstcritiek (= kritik seni). Nama matakuliahnya saja Kunstbeschouswing (‘Tilik Seni’). Dengan sendirinya mahasiswa tidak diajari ‘ngritik’. Lalu dengan mudiknya guru2 Belanda (yang terakhir pergi tahun 1960) kita mulai banyak membeo sang adidaya. Jadi kita bilang ‘apresiasi seni’; tidak misalnya ‘tanggap seni’ atau ‘tilik seni’. Sementara itu sejak 1970an menggema tembung ‘kritik sastra’, ‘kritik seni’, dan ‘kritik film’. Semua ingin menyamai krotak-kritik di manca berikut nekateorinya sekalian. Otak kita ‘membayar hak cipta’ sono dengan menyedot aneka ‘kata orang’ sono, peristilahan, carapikir, carapilih, caranilai, perilaku di sono dll, tentu sejauh, sesempit, atau sebenar yang kita ketahui.
Kritik Senirupa
Yang merasa tidak butuh kritik ialah arsitek. Maka itu bukan mereka yang suka meributkan kritik seni. Habis, belum juga bangunan digambar, persekot jutaan rupiah sudah masuk saku. Begitu juga jaminan pelukis dan pematung yang mendapat projek. (Coba kalau penulis seni bisa dipersekoti seperti itu. Mendapat setengah juta rupiah saja sudah mustahil ... ). Yang merasa wajar saja menggunakan peristilahan pribumi, bahkan kedaerahan, hanya kritik tari dan musik. Yang lain suka mengganti nama2 pribumi dengan nama2 Barat. Dan yang mengulas seni baru maupun seni adat? Juga kritik tari dan musik. Kritik sandiwara dan bangunan terkadang bisa begitu juga. Lalu siapa yang tidak pandang bulu, yang enak saja menulis tentang seni di aneka daerah Nusantara? Lagi2 kritik tari dan musik.
Seni Rupa
Dalam ‘kritik seni’ kita, seni rupa itu sejenis lukisan berbingkai. Pokoknya yang seperti di sonolah. Hanya kadang2 dia itu patung, gerabah, dan gambar pena, itupun harus yang ‘murni’. Buatannya mesti bisa dicap dengan istilah membarat, misalnya ekspresionis, surealis, dan sebagainya. Cikenis tidak ada sebab di sono tidak ada chiskenism (kecuali kalau New York punya pelukis bulu ayam). Paranormalis Indonesia juga tidak ada sebab art history dan criticism sono tak tahu paranormal paranormal painting. Yang pasti mengenalnya pastilah orang melayu, dan tentu saja bukan ‘kritisi’ ...
Seni rupa itu selalu bikinan ibu kota, itupun tiga saja: Jakarta, Bandung, dan Yogya. Surabaya bisa juga dirangkul. Entah Solo. Kalau Semarang, Pekalongan, Manado, Ambon dan lain-lain itu sih “tidak dianggep”. Oleh siapa? Tentu saja oleh kaum ‘trikota’ tadi. Kalau ditanya, alasannya ‘mutu’. Dan mutu apa? Tentu saja mutu jenis senirupa yang dirajai triquota. Pembuat senirupa itu selalu bukan-jelata. Yang nyleneh cuma seniman Bali. Rata2 pedusun semua. Tetapi itu perkara kecil. Bikinannya sebut saja lukisan Bali. Jadi temannya di Nusantara cuma lukisan Jawa.
Serbarupa
Saya sendiri mimpi jurusan rekaswatur atau computer design (catatan kaki yang diubah: Calon gurunya sudah saya siapkan: Rina Wayanti. Mulai tahun 1992 dia akan menekuni Computer Design dulu di Ohio State University). Singkat kata, dalam pendidikan kita, SENI RUPA itu sudah jauh lebih luas dari yang selama ini dimaksud oleh pameran/diskusi/sejarah/hadiah/kritik seni. Aneh tapi nyata.
Karena itu para mahasiswa mengikuti segala macam sayembara senirupa yang disiarkan koran (membuat pariwara, logo, piala dll). Banyak lulusan bekerja menangani senirupa di majalah, perusahaan iklan, pabrik tenun, pabrik mebel dll. Ada juga yang menjadi ahli rekataman. Taufan Sukarno (putra Bung Karno) lulus sebagai sarjana seni rupa ITB dengan rekamobil sebagai karyatama. Kawasan senirupa teramat luas, dan mahasiswa diberi kesempatan untuk menggarap apa saja di situ yang mereka minati. Matakuliah Seminar dan Skripsi khusus disediakan untuk itu. Misalnya, dengan bimbingan saya ada yang menulis skripsi tentang segala kemasan/wadah jajanan Jawa: kupat, klepon dll. Inilah senirupa yang tak ada duanya di dunia. Telah dua orang menulis tentang perhiasan Runi Palar (yang sering saya sebut sebagai seniwati Indonesia paling kenamaan di seluruh dunia). Ada skripsi yang mengupas seni pandai besi: golok, pisau, arit dll. Dan begitulah seterusnya.
Guru2nya sering mengerjakan nekarupa. (Pelukis) Achmad Sadali sering merancang perabot rumah (pesanan orang dan arsitek), menangani rekaruang gedung besar dll. (Pelukis) Srihadi Sudarsono menggambari buku dan majalah, menghiasi kapal laut, merancang huruf, mencipta logo dll. (Pematung) Sunaryo merancang piala, kulit buku, reruang hotel dll. Yusuf Affendy menenun, melukis, mengajar ‘Busana dan Mode’ (di ITB), banyak menulis mengenai industri kecil, anyaman, ukiran dll di koran daerah, membuat gerabah keperluan harian untuk dagangan toko (bukan untuk ‘galeri’), dan menghiasi ratusan payung dengan bebunga (bersama pedusun, juga tidak untuk ‘pameran seni’). Kerja Sutanto di Pikiran Rakyat setali tiga uang dengan kerja GM Sudarta di Kompas. Dosen2 lain juga berbuat serupa.
Itulah seni rupa. Tetapi itulah yang tidak ada dalam kritik seni rupa.
Serbamoh
Cuma (kecuali Yusuf Affendy), mereka itu --dan hampir semua sarjana senirupa lain-- tidak doyan menulis makalah dan artikel, bahkan menulis diktat juga tidak. Di sinilah sumber lain dari ‘masalah kritik seni kita’. Tetapi beginilah bangsa kita dan seniman kita ini, termasuk yang tertinggi pendidikannya: moh-nulis, selalu berdalih “tidak bisa menulis” atau “bukan tugasku menulis”. Menurut Yus Badudu ada dalih lain: “Maklum, saya bukan sastrawan ...” Karena kuatnya adat mohtulis ini bangsa kita juga tidak pernah punya minat untuk menggalakkan rangsangan menulis. Kita baru pandai merangsang orang untuk menjadi penyanyi pop.
Virus Lain Bernama Mohteori
Ini menulari sebagian ‘dosen praktek seni’ (guru melukis, mematung dll). Nalarnya begini: teori itu bukan kerjaan ‘guru praktek’, termasuk teori tentang bidang-praktek mereka sendiri. Jadi kalau dikirim ke luar negeri, mereka hanya mau ‘kerja praktek’ melulu. Kembalinya tentu saja tanpa ijazah tambahan. Karena toh dirasakan perlunya teori dalam mengajarkan praktek mereka, di masa 80an diciptakan obatnya: teori itu kerjaan ‘dosen teori’. Jadi mesti ditunjuk dosen-teori buat mengajar teori lukisan, teori patung, teori tenun dst. Di Barat juga begitu, katanya. Tetapi, apanya yang “begitu”? Langkanya teoriwan senirupa? Langkanya kaum sukabaca? Di kita, sialnya, itu ‘dosen teori’ terlalu langka. Masalahnya jelas: membaca dan membaca buku2 berbahasa asing. Padahal kita ini bangsa mohbaca dan mohtahu bahasa asing. Belum lagi soal penghasilan menulis .....
Televisi
Hampir tiap malam TVRI menayangkan seni rupa, sebagai warta pendek maupun tayangan panjang. Misalnya tentang tenun, batik, busana, anyaman, kerang, kulit, kue besar, perabot rumah, bunga kering, karangan bunga, giok Cina, lomba patung es, keris, topeng, wayang, lukisan bulu, lukisan paranormal, dan banyak lagi dari seluruh Nusantara. Pewarta TV, mungkin karena tidak pernah belajar teori seni memBarat, leluasa saja mengejar rerupa yang menarik dan elok. Dia mengajak kita nonton (pameran) seni yang tak digubris pekritik dan dicibir kaum mongkok. Paling tidak dia bicara, minta seniman dan penikmat nimbrung. Kritik seni? Bukan. Ini warta seni, bincang seni. Ini mestinya jatah pengamat seni berpengetahuan jembar. Tapi seniman mana yang mau jadi wartawan TV? Bagaimanapun juga, semua tadi nyata berselisih jalan dengan ‘kritik seni’.
Kajirupa
Mari kita tengok senirupa kajian tiga ahli, pilihan dari jutaan buku kajiseni. Tiap sebutan ‘kunst’ (= art) akan saya alih ‘seni’, dan ‘kunstenaar’ (= artist) ‘seniman’. William Willets. 1958. Chinese Art. Dua jilid, 802 halaman.
Ini sejarah senirupa dari masa purba sampai dengan abad 20. Isinya 8 bab, a.l. Jade (giok) 53 hal., Bronze (gangsa) 48 hal., Lacquer and Silk (rengas dan sutera) 79 hal., dan Pottery (kundian) 100 hal. Jadi, 280 halaman untuk empat rerupa ini, atau hampir sepertiga buku. Bab 5, Painting and Calligraphy, makan 116 halaman, sebagian untuk lukisan, sebagian untuk suaksara. Dalam Jade dibahas antara lain badik, gelang, kancing, jimat dan bedor (mata tombak/panah); dalam Lacquer and Silk a.l. pinggan, bejana, jambang, cepu (tempat menaruh tembakau dsb, dari kayu atau logam), cermin, tenunan; dalam Bronze, aneka bejana/guci.
Kritik
Salah satu biang masalah KRITIK SENIRUPA berpangkal pada tembung ‘kritik seni’ itu sendiri, sebab menyelundupkan muatan2 berikut dari sumber Baratnya: 1) hanya mengitari satu-dua jenis senirupa; 2) berpatokan ‘seni murni’; 3) hanya menggauli seni baru; 4) hanya menyoroti seni pribadian; 5) hanya menonjolkan seni kotabesar; 6) hanya melayani kaum tengahatas; 7) hanya menguntungkan senirupa kota besar Jawa; 8) hanya menggunakan peristilahan Barat. Kritik senirupa hanya mengurusi sebagian kecil senirupa di Nusantara (biarpun yang paling besar mulut), alias tidak berwawasan Nusantara. (Jadi berwawasan apa?) Maka itu ada baiknya nama diganti dengan bahas seni, tilik seni atau ulas seni saja, lalu kita isi muatannya. Bertanya “what’s in name?” memang gampang. Tetapi menjawabnya? .... Bangsa kita punya jawab sendiri. Kita renungi saja selera bangsa kita sekarang: cara kita menamai segala sesuatu, dan mengubah nama-pribumi segala sesuatu, khususnya cara pekota.
TV dan Pers
Yang perlu disajikan TV/pers ialah ilmu seni, tanggap seni, dan ulas seni, secara terpisah maupun tergabung. Ilmu seni berisi pengetahuan selintas mengenai aneka istilah, nama, cerita, adat, sejarah, guna, kiat, nafkah dll. Tanggap seni memberi pengantar dalam acara melihat, menggunakan, menghargai, dan membuat rerupa. Ulas seni membimbing pembaca/penonton dalam menilai seni yang sedang/baru/akan dipamerkan, diberitakan, dibangun dsb. Sajiannya mesti membuka mata, membangunkan minat, mendidik, nekarupa, nekasegi, nekataraf, nekamasa, dan banyak menusantara. Karena jutaan perupa penghasil ribuan jenis rerupa bertekun di desa, alam pikir, alam maksud, mutu karya, nama pribadi mereka, jasa mereka dalam ekspor non-migas, impian, cita2 dan masalah hidup mereka pantas selalu dikemukakan.
1.2 BATIK SANG PENJELAJAH
Pokok pikiran diajukan dalam Sarasehan Batik, pada 9 September 1990,
di Dalem Ageng Ambarrukmo Palace Hotel, Yogyakarta, dalam rangka Dies
Natalis Asrama Mahasiswa GKBI Yogyakarta.
Oleh Saneno Yuliman
“Menjelajah”, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia 1976, berarti menjajah atau bepergian, menyelidiki, dsb, ke mana-mana. Diterapkan untuk batik, kata itu tentu saja digunakan dalam arti kias. Batik, sebagai cabang seni, dikatakan menjelajah, dalam arti merambah ke berbagai arah, mencobakan sejumlah hal yang sebelumnya tidak dilakukan. Saya ingin menggarisbawahi kenyataan sejarah yang memperlihatkan betapa batik memiliki sifat penjelajah ini, dan ingin menggarisbawahi sifat ini sebagai unsur pokok yang di dalam pikiran kita selayaknya membentuk citra kita tentang batik.
Perumitan dan Penghalusan
Terdapat jarak jauh antara batik sederhana dan kasar seperti itu di satu pihak, dan batik klasik, tradisional, Jawa, di pihak lain. Orang hanya dapat takjub melihat kerumitan teknik yang menyangga ketinggian mutu itu. Bagaimana ramuan malam, yang meliputi bermacam bahan dengan sifat atau pekerti berbeda-beda – bahan seperti gandarukem, damar, parafin, lemak, malam lorodan, lilin lebah, malam mikro – ditemukan dan dicampur dengan perbandingan tertentu? Dan ada berjenis-jenis malam, masing-masing dengan ramuan tertentu, sifat tertentu, dan digunakan untuk proses tertentu: malam klowongan tulis, malam tembokan tulis, malam biron, malam remukan, di samping kemudian ada malam klowongan cap dan malam tembokan cap.
Keheranan dan renungan dapat diperluas meliputi jenis dan cara mengolah bahan pewarna alam: nila, soga (diperoleh dari campuran bermacam tumbuhan seperti kayu tingi, kayu tageran, dan kayu jambal), kunyit, dan mengkudu; canting bagong, canting pegon, canting popokan atau canting tembokan – ini ada 3 macam, canting cecek loro, dan canting cecekan -- 5 macam.
Proses pembuatan kain batik cukup rumit. Seluruhnya ada 5 macam proses pokok, dari penyiapan kain hingga nglorod (menghilangkan malam) dan proses akhir. Masing-masing proses itu berisi sejumlah proses. Penyiapan kain, misalnya, meliputi 4 tahap atau proses (mencuci, ngetel, nganji, ngemplong), sedang proses kerja dengan malam, berisi 6 proses (nglowongi, nembok, mbironi, nonyok, ngremuk, cocohan). Tentunya kita perlu mengingat pula peralatan dan perlengkapan yang digunakan.
Perluasan Konsumen dan Penekaragaman Kebutuhan
Pertemuan yang semakin erat, di abad lalu, dengan berbagai kelompok etnis, khususnya dengan kelompok orang Eropa dan terutama Cina, telah mendorong batik menyerap dan mengolah pola-pola hias asing dan melahirkan gaya-gaya khas (batik Pekalongan, batik Cirebon, dll) sebagai bagian dari medan penjelajahannya. Di jaman kita, batik memperluas kawasannya ke daerah-daerah di luar Jawa dan menyerap serta mengolah berbagai unsur yang semula berada di luar rengkuhan batik.
Pemakaian busana tradisional menyusut, hingga di masa kita sekarang terbatas pada pesta dan upacara, khususnya bagi wanita. Tetapi batik memperluas jelajahannya di bidang guna. Di masa kita sekaramg kawasan batik mencakup banyak macam pakaian, berjenisjenis perlengkapan, dan berbagai barang untuk berbagai macam keperluan. Untuk penjelajahan semacam itu, pembatik trdisional tidak mencukupi. Kita menyaksikan tumbuhnya perancang dalam berbagai jenis dan tingkat, mulai dari penyungging dalam perusahaan kecil dan menengah, yang kerjanya menyadur ragam hias terlaris di pasar, atau menggambar pola kemeja lengkap dengan ragam hiasnya (siap potong dan jahit), sampai designer jenis Iwan Tirta.
Memudarnya masyarakat tradisional, ekonomi pasar, perluasan konsumen, tampaknya telah menambah dinamika batik, memperluas dan mempergencar penjelajahannya. Satu lagi: ketika adat memudar, ikatan etnis, kerabat, dan daerah melonggar, batik bertemu dengan kumpulan luas individu yang serbaragam. Dan batik, sebagai sandang, sebagai perlengkapan diri dan perlengkapan rumah, tak ayal memasuki wilayah pribadi – bertemu dengan citra diri dan cita rasa yang sangat anekaragam dan berubah-ubah dalam kumpulan individu yang sangat luas itu. Kenyataan ini memperkuat tuntutan terhadap batik akan penjelajahan yang sadar dan berencana di jaman sekarang.
Batik, San Penjelajah
Ini tidak bertujuan mencatat sejarah batik, apalagi terperinci dan lengkap dengan nama-nama pihak dan orang yang berjasa di dalamnya. Cukuplah bila dapat ditonjolkan ke permukaan salah satu ciri yang dimiliki batik: sifat penjelajah. Bukan penjelajah yang kian-kemari dengan tangan hampa. Sebab, kita dapat menyidik sifat selektif dan kumulatif penjelajahannya: ia tidak membuang segala apa yang telah diperolehnya dalam perjalanannya, tanpa timbang-timbang dan pilih-pilih.
Jika di masa sekarang, di satu pihak kita melihat orang berbondong-bondong berebut kain hasil suatu tempat atau daerah (misalnya, Tuban, “baru ditemukan”), sedang di lain pihak banyak kegiatan batik gulung-tikar, dan bergunung-gunung canting cap dijuali (misalnya, di Pekalong-an, yang sudah lama dikenal). Betapa orang mudah terperangkap dalam kebiasaan dan sikap matuh. Ungkapan bebas dalam batik, misalnya, terperangkap dalam konsep lukisan: kain bergambar terentang pada pemidang, dan berbingkai. Barangkali kita perlu memperhatikan pemakaian kain dalam pelaminan dan ruangan dalam pesta upacara perkawinan di berbagai daerah seperti Aceh dan Minangkabau, pemakaian kain dalam perayaan dan pesta (di dalam ataupun di luar ruangan), perkabungan dsb. Boleh jadi, kita akan beroleh benih-benih gagasan untuk mengembangkan semacam seni tekstil sebagai ungkapan bebas, melepaskannya dari konsep lukisan.
2. Hasil Penelitian
2.1 Komik
Istilah komik berasal dari bahasa Inggris comic yang berarti cerita atau buku komik, yang bersifat gembira (Echols dan Shadily, 1990:129), cerita bergambar yang lucu (Wojowasito, 1985;75). McCloud (2001) dalam buku Understanding Comics yang unik, karena disusun dalam gaya penceritaan buku komik, gambar-gambar serta lambanglambang dan narasi disusun sebagaimana dalam sebuah format buku komik (McCloud, 2001;9) Pada dasarnya, komik merupakan karya seni perpaduan antara seni rupa dengan karya sastra, yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk visual atau gabungan bentuk visual dengan keterangan verbal.
Manga
Secara umum manga diartikan sebagai komik made in Japan. Manga bukan lagi menjadi sesuatu hal yang asing bagi generasi muda dan anak-anak pencinta komik dan animasi. Manga sebagai bentuk kesenian visual dari Jepang tidak hanya memiliki kualitas gambar yang baik dan unik, namun juga sangat ditunjang dengan kekutan dan keragaman cerita yang menarik. Manga adalah istilah yang digunakan untuk menyebut komik Jepang. Kata manga digunakan pertama kali oleh seorang seniman bernama Hokusai Katsushika (1760-1849) dan berasal dari dua huruf Cina yaitu kata manga yang artinya gambar manusia untuk menceritakan sesuatu.
Ada delapan teknik bercerita manga, menurut McCloud dalam bukunya “Membuat Komik” ( 2008 : 215 ), yaitu:
1) Wajah Wajah dan figur-figur digambarkan secara sederhana emotif yang memancing identifikasi pembaca. Penggambaran wajah dan figur dibuat secara sederhana tanpa detail. Misalnya hanya dengan garis dan blok hitam, tapi dengan mudah dapat mengenalinya sebagai wajah manusia, wajah laki-laki atau perempuan.
2) Kesan Tempat yang Kuat Rincian lingkungan yang dipicu ingatan indrawi dan ketika dipertemukan dengan karakter ikonik akan memancing “efek masking” yang artinya dalam frame akan tampak gambar yang kurang menyatu karena terlihat perbedaan antara latar belakang dengan gambar tokoh. Latar belakang biasanya digambarkan dengan realis dan tokoh dalam kartun yang sangat sederhana.
3) Frame Bisu Penggunaan panel bisu dipadukan dengan transisi aspek ke aspek mendorong pembaca menyusun keinginan untuk memperoleh informasi rupa dari setiap adegan.
4) Gerak Subjektif Menggunakan latar yang kurang jelas atau mengganti latar dengan efek garis sehingga pembaca merasa bergerak bersama karakter dalam komik tersebut.
5) Kematangan Genre Pemahaman cara bercerita yang unik mendorong terciptanya ratusan genre seperti fiksi ilmiah, fantasi, horor, komedí, detektif dan sebagainya.
6) Rancangan Karakter Rancangan karakter yang sangat beragam, menampilkan tipe wajah dan tubuh yang berbeda serta asesoris yang dengan mudah dapat kita kenal. Misalnya dengan perbedaan warna rambut, sensata yang dibawa setiap tokoh, dan jenis pakaian yng digunakan.
7) Rincian Dunia Nyata Dibuat sampai ke hal-hal yang kecil. Sebuah apresiasi untuk sebuah keindahan untuk hal yang remeh dan kaitannya dengan nilai-nilai pengalamann sehari-hari. Bahkan dalam cerita fantastis atau melodramatik.
8) Efek Ekspresif Emosional Efek ekspresif emosional yang beragam seperti latar ekspresionistis, karikatur subjektif dan montase, semua menyediakan jendela bagi pembaca untuk melihat yang dirasakan karakter.
Jenis-jenis manga yaitu:
1. Shoujo Manga
Shoujo manga yaitu manga yang lebih diperuntukkan bagi anak perempuan. Jepang adalah negara pertama yang memelopori lahirnya komik khusus untuk kaum hawa dan satu-satunya di dunia yang perkembangan komik perempuannya sangat maju.
2. Shounen Manga
Shounen manga adalah manga yang lebih dikhususkan untuk pembaca laki-laki. Ceritanya berkisar pada hal-hal yang disukai laki-laki, seperti olahraga atau petualangan seru penuh aksi. Popularitas shounen manga berawal dengan terbitnya dua mingguan shounen pada tahun 1959, yaitu Weekly Shounen Magazine (penerbit Kodansha) dan Weekly Shounen Sunday (penerbit Shogakukan).
3. Doujinshi Manga
Doujinshi adalah manga, tetapi kisah-kisah doujinshi lebih banyak dibuat berdasarkan cerita manga yang sudah ada dan dibuat oleh penggemarnya. Jadi bisa dibilang, doujinshi adalah fanfic dalam bentuk komik. Orang yang membuat doujinshi disebut doujinshika.
2.2 Seni Jalanan (Street Art)
Seni jalanan merupakan perkembangan dari grafiti yang biasa di buat dengan cat semprot (aerosol) kemudian berkembang menggunakan berbagai teknik pembuatan misalnya: stensil, stiker, tempelan kertas/ whet pasting, poster atau campuran dari berbagai bentuk seni. Kata “jalanan” pada kata seni jalanan bukan sekedar menunjukkan tempat tetapi lebih menekankan kepada kebebasan sebab jalanan memiliki sifat longgar yang memungkinkan kebebasan berlangsung. Apakah itu dalam kebebasan berpendapat, seni, maupun kebebasan bertingkah laku. Jalanan telah menjadi tempat dimana orang-orang memiliki kesempatan untuk menunjukkan rasa kemanusiaan dan kebinatangannya yang tersembunyi.
GRAFITI
Grafiti Menurut kamus Oxford Advanced learner’s Dictionary (A S Hornby, 2000:559).“ Graffiti is drawing or writing on a wall or in public place that they are usuaaly rude, humorous or political”. Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa seni grafiti merupakan kegiatan menulis atau menggambar pada tembok atau media lainnya di tempat umum yang biasanya kasar, lucu atau mengandung unsur politik. Alat yang digunakan biasanya cat semprot kaleng.
Grafiti (juga dieja grafitty atau grafitti) adalah kegiatan seni rupa yang menggunakan komposisi warna, garis, bentuk dan volume untuk menuliskan kalimat tertentu di atas dinding. Alat yang digunakan biasanya cat semprot kaleng. Menurut Wikipedia (n.d., 19 Januari 2007), graffti adalah salah satu tulisan ataupun penanda yang dengan sengaja dibuat oleh manusia pada suatu permukaan benda, baik itu milik pribadi ataupun publik. Sebuah graffti dapat berupa sebuah karya seni, gambar ataupun kata-kata. Ketika suatu graffti dikerjakan tanpa sepengetahuan pemilik properti, maka graffti tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah vandalisme. Graffti sendiri telah ada paling tidak sejak peradaban kuno seperti zaman Yunani Klasik dan Kerajaan Roma.
SEJARAH GRAFITI
Grafiti di Pompeii di atas mengandung tulisan rakyat yang menggunakan bahasa Latin Rakyat dan bukan bahasa Latin Klasik. Kebiasaan melukis di dinding bermula dari manusia primitif sebagai cara mengkomunikasikan perburuan. Pada masa ini, grafitty digunakan sebagai sarana mistisme dan spiritual untuk membangkitkan semangat berburu. Perkembangan kesenian di zaman Mesir kuno juga memperlihatkan aktivitas melukis di dinding-dinding piramida. Lukisan ini mengkomunikasikan alam lain yang ditemui seorang pharaoh (Firaun) setelah dimumikan. Kegiatan grafiti sebagai sarana menunjukkan ketidak puasan baru dimulai pada zaman Romawi dengan bukti adanya lukisan sindiran terhadap pemerintahan di dinding-dinding bangunan. Lukisan ini ditemukan di reruntuhan kota Pompeii. Sementara di Roma sendiri dipakai sebagai alat propaganda untuk mendiskreditkan pemeluk kristen yang pada zaman itu dilarang kaisar. (http://id.wikipedia.org/wiki/Grafiti, diakses 14 April 2007).
Di indonesia, menurut Soedarso seperti yang dikutip Syamsul Barry (2008:31), goresan gambar yang tertua ditemukan di dinding gua Pattae Kere, yang terletak di daerah Maros, sulawesi selatan( kebudayaan Toala, Mesolitikum, c.4000 tahun yang lalu). Gambar pada gua itu sangat berbeda dari gambar hiasan dinding buatan jaman purba yang biasanya bertujuan untuk memperindah tempat tinggal manusia yang mendiaminya . Gambar tersebut bermakna lebih dalam, yaitu mengandung pesan pengharapan (wishful painting).Terlepas dari tujuan pembuatanya, (goresan) gambar pada gua itu dapat dikatagorikan sebagai grafiti.
Perkembangan zaman dan perubahan tatanan masyarakat ternyata memberi dampak yang cukup besar bagi perkembangan seni grafiti. Yang awalnya hanya sebagai satu media komunikasi, lambat laun berkembang menjadi satu media perlawanan dan protes. Mulai terpisahkannya masyarakat dalam bentuk kelas-kelas, dan membuat satu kelas tertentu merugikan kelas yang lain. Karena perlawanan secara fisik dari golongan yang lemah dirasa dan secara nyata sering mengalami kekalahan, maka pada akhirnya grafiti muncul sebagai satu bentuk perlawanan baru dari kelas atau golongan yang kalah.
PERKEMBANGAN GRAFITI
Di Amerika Serikat sendiri, setiap negara bagian sudah memiliki peraturan sendiri untuk meredam grafiti. San Diego, California, New York telah memiliki undang-undang yang menetapkan bahwa grafiti adalah kegiatan ilegal. Untuk mengidentifikasi pola pembuatannya, grafiti pun dibagi menjadi dua jenis.
- Gang grafiti
Yaitu grafiti yang berfungsi sebagai identifikasi daerah kekuasaan lewat tulisan nama gang, gang gabungan, para anggota gang, atau tulisan tentang apa yang terjadi di dalam gang itu.
- Tagging grafiti
Yaitu jenis grafiti yang sering dipakai untuk ketenaran seseorang atau kelompok. Semakin banyak grafiti jenis ini bertebaran, maka makin terkenallah nama pembuatnya. Karena itu grafiti jenis ini memerlukan tagging atau tanda tangan dari pembuat atau bomber-nya. Semacam tanggung jawab karya. (http://id.wikipedia.org/ wiki/Grafiti, diakses 14 April 2007).
Grafiti sekarang mulai memasuki masa keemasannya, selain di Indonesia sendiri, di Ameri-ka atau tepatnya di Brooklyn Museum sering diadakan pameran grafiti yang kini disebut juga sebagai seni kontemporer. Berbagai bomber profesional seperti Crash, Lee, Daze, Keith Haring dan Jean-Michel Basquiat menjadi pahlawan dalam seni grafiti. Sekitar 22 bomber ikut berpartisipasi dalam pameran ini. Lain di Amerika lain pula di Australia. Negara yang satu ini bahkan menjadikan grafiti sebagai lomba publik yang selalu memiliki jumlah peserta yang sangat banyak. (“Grafiti” di Jalanan Ibu Kota’’, Harian Kompas, Jumat, 29 April 2005).
GRAFITI PADA ZAMAN MODERN
Pada masa modern sekarang ini, grafiti pun mengalami satu perkembangan dalam tujuanya. Untuk menunjukan satu identitas pribadi, seperti yang dilakukan oleh seorang Amerika yang bernama Taki. Ia selalu menuliskan namanya, entah itu didalam kereta atau di dinding bis kota, yang kemudian membuat Taki menjadi terkenal. Hal tersebut kemudian diikuti oleh banyak anak muda disana, yang seperti terinspirasi oleh Taki. Hal ini karena hanya dengan melakukan coretan nama ditempat-tempat umum, maka dengan mudah dapat menjadi terkenal. Grafiti juga dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang sekali lagi hanya bermotifasi untuk dapat menjadi dikenal kelompoknya. Mutasi motivasi ini tak bisa kita katakan sebagai sesuatu yang bukan seni. Bukan pembenaran, bahwa seni itu adalah kebebasan. Namun bisa juga kita katakan, kalau corat[1]coret di tempat umum yang hanya sekedar unutk menunjukan satu identitas saja adalah bentuk seni juga. Walaupun mungkin dalam satu level yang berbeda. (http://www.pysam.com, diakses 14 April 2007).
Antara Seni, Perlawanan dan Vandalisme
Seni adalah satu bentuk ekspresi kreatif manusia. Seni juga sangat sulit diartikan atau dinilai. Setiap individu, baik sang seniman ataupun penikmat seni itu sendiri, bisa membuat satu parameter untuk menentukan nilai dan artian dari sebuah karya seni. Ini menunjukan bahwa kebebasan adalah tuhan dari seni itu sendiri (www.prp-indonesia.org - Grafiti Action, diakses 14 April 2007).
Umumnya pelaku grafiti yang menjadikan grafiti sebagai media perlawanan dan penyadaran, dalam grafitinya selalu meninggalkan pesan-pesan bagi orang yang melihatnya. Sehingga hasil dari coretan tersebut pun, bukan sekedar kata-kata atau tulisan. Namun juga banyak menampilkan gambar-gambar, yang kemudian diolah sedemikian rupa, sehingga juga terlihat sebagai sebuah ekspresi kreatif.
Vandalisme, adalah satu stigma yang sering diungkapakan orang terhadap pelaku grafiti maupun grafiti itu sendiri. Pada hakekatnya, vandalisme sendiri merujuk pada perusakan atas barang milik orang lain termasuk juga barang yang diperuntukan untuk kepentingan publik. Namun vandalisme mempunyai aspek emosi dalam melakukanya. Geram dan kesal atau bahakan hanya sekedar untuk melepaskan kebosanan semata, adalah motif dari vandalisme. Jelas memang, ketika merusak kepentingan publik dengan muatan emosi sebagai satu motifasinya, maka bisa kita katakan dia sebagai bentuk dari vandalisme. Berbeda dengan grafiti yang menjadi bagian dari seni, yang lebih menekankan pada unsur penyampaian pesan dan kebebasan berekspresi.
Grafiti Action Sebagai Sebuah Komoditi
Tak bisa dipungkiri, bahwa grafiti action telah menjadi satu fenomena tersendiri di masyarakat. Khusunya bagi anak muda yang umumnya menjadi pelaku grafiti. Terlepas maksud dan tujuan dari grafiti action tersebut, baik yang pure seni ataupun yang memang ditujukan sebagai bentuk protes. Namun hal ini seperti sudah menjadi satu trend tersendiri dikalangan anak muda.
Karena kondisi seperti ini mempunyai dua sisi yang berbeda bagi grafiti. Grafiti akan menjadi sangat banyak peminat atau pelakunya, namun disisi lain grafiti seolah-olah telah menjadi barang dagangan. Untuk yang kedua, tentunya sangat buruk dampaknya bagi grafiti. Karena grafiti, seperti halnya hakekat dari seni yang bertujuan untuk ekspresi bebas dan tidak untuk diperjualbelikan. Jika hal ini terus berlanjut, mungkin kita tak akan heran suatu saat, untuk melihat grafiti action harus mengeluarkan sejumlah uang.
Dan yang mampu untuk melakukan perlawanan terhadap proses penghianatan terhadap grafiti sebagai seni, yang seharusnya tidak diperjual belikan adalah grafiti itu sendiri. Pada saat yang sama, maka grafiti yang sejati akan melakukan perlawanan atas kondisi ini. Din-ding jalan akan semakin penuh dengan coretan, tembok-tembok publik pun akan sesak de-ngan berbagai macam tulisan atau gambar bernada protes. Tak hanya protes terhadap kondisi dimana grafiti menjadi komoditi, tapi juga protes terhadap sistem yang mem buat grafiti menjadi komoditi. (http://www.prp-indonesia.org - Grafiti Action, diakses 14 April 2007).
Aliran Grafiti
Dalam seni grafiti, terdapat beberapa aliran-aliran yang sering digunakan oleh para bomber dalam membuat grafiti di tembok-tembok jalanan ibu kota. Berikut ini adalah sedikit penjelasan dari aliran-aliran grafitti :
Bubble, yaitu gaya pola yang umum dipakai writer atau bomber untuk melakukan throw up (menggrafiti dengan cepat).
Wildstyle atau semi wildstyle, yaitu gaya yang sejenis dan biasa dipakai serta populer bagi para writer. Ciri gaya pola ini adalah menggunakan ornamen seperti tanda panah, bintang, dll.
3D, yaitu gaya pola yang mengesankan kesan 3 dimensi.
Tagging. Adalah gaya/pola yang umum dilakukan oleh para bomber di mana hasilnya nampak seperti tanda tangan. Hanya sekadar tulisan. Ini yang kemudian disebut sebagai corat-coret.
Fungsi Grafiti
Dari berbagai macam jenis grafiti yang ada, fungsi grafiti pada zaman modern mengalami perkembangan fungsi. Adapun beberapa fungsi dari Grafiti. (http://www.freemagz .com, diakses 14 April 2007).
1. Bahasa rahasia kelompok tertentu.
Grafiti mengalami satu perkembangan dalam tujuanya. Untuk menunjukan satu identitas pribadi, seperti yang dilakukan oleh seorang Amerika yang bernama Taki. Yang selalu menuliskan namanya, entah itu didalam kereta atau di dinding bis kota, yang kemudian membuat Taki menjadi terkenal. Hal tersebut kemudian diikuti oleh banyak anak muda disana, yang seperti terinspirasi oleh Taki, karena hanya dengan melakukan coretan nama ditempat-tempat umum, maka dengan mudah dapat menjadi terkenal. Grafiti juga dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang sekali lagi hanya bermotifasi untuk dapat menjadi dikenal kelompoknya (geng).
2. Sarana ekspresi
Seiring perkembangan jaman perubahan gaya hiduf (life style). Adanya kelas-kelas sosial yang terpisah terlalu jauh menimbulkan kesulitan bagi masyarakat golongan tertentu untuk mengekspresikan kegiatan seninya. Akibatnya beberapa individu menggunakan sarana yang hampir tersedia di seluruh kota, yaitu dinding
3. Sarana pemberontakan.
Grafiti sebagai media propaganda atau kritik atas satu kondisi sosial yang ada. Umumnya pelaku grafiti yang menjadikan grafiti sebagai media perlawanan dan penyadaran, dalam grafitinya selalu meninggalkan pesan-pesan pagi orang yang melihatnya. Sehingga hasil dari coretan tersebut pun, bukan sekedar kata-kata atau tulisan. Namun juga banyak menampilkan gambar-gambar, yang kemudian diolah sedemikian rupa, sehingga juga terlihat sebagai sebuah ekspresi kreatif.
Komunitas Grafiti Di Kota Denpasar
Pengaruh musik R&B, hip-hop, dance dan skate board turut serta menjadi bagian tak terpisahkan dalam perkembangan grafiiti di Denpasar. Namun Belum ada yang mengetahui pasti kapan dan dimana grafiti di Denpasar pertama kali ditemukan. Semenjak tahun 2000 komunitas bomber semakin marak di Denpasar, ini dikarenakan pengaruh media elektronik, majalah dan internet yang memberikan banyak informasi tentang gaya hidup remaja saat ini yang kini sering diikuti oleh remaja yang ada di Denpasar.
Sekelompok remaja dengan mengenakan sweater dan masker sambil menenteng cat semprot di tangan dan mulai berjalan menelusuri jalan-jalan dengan membawa satu tas penuh berisikan cat semprot kaleng. Beberapa saat mereka sempat berdiam diri di bawah lampu merah , dengan pandangan penuh arti menatap tembok-tembok yang kosong dan kusam tersebut. Sedetik kemudian tangan-tangan mereka mulai menyemprot tembok tersebut dengan cat semprot. Tidak ada yang tahu apa yang mereka ciptakan saat itu, sampai keesokan paginya para pengguna jalan mulai melihat hasil karya para bomber tersebut. Dan karya inilah yang kita kenal sebagai grafiti.
Komunitas grafiti lain diantaranya abilty, flame kidz, U-zack, Socbeker, M2crew, Hollygan, TRN, 5 Cru, Cyber, ABILITY, TRN, WBA, PEGOK, DOZ, 153, WEBER, Racy, #2Bomb, Criz, Buble, popeye dan banyak lagi bomber yang meramaikan pembuatan grafiti. Mereka terbentuk setelah beberapa perkumpulan kecil para pembuat grafiti di Denpasar, karya-karya mereka kebanyakan hanya berupa tagging (tag/inisial atau singkatan nama) yang tersebar di beberapa sudut tembok yang ada di kota Denpasar.
Penelitian yang berjudul “Keberadaan Grafiti di Kota Denpasar” ini dilakukan di sejumlah jalan-jalan di kota Denpasar. Antara lain, Jalan Diponogoro, Jalan Sudirman, Jalan Dewi Sartika, jalan Hayam Wuruk WR Supratman, jln Teuku Umar, dan tempattempat yang menjadi sasaran para bomber. Para narasumber adalah pelaku grafiti itu sendiri. Kriterianya antara lain telah membuat karya grafiti di beberapa tempat, minimal telah 1 tahun aktif berkarya, grafiti yang dihasilkan berjenis grafiti artistik, dan sering berkarya bersama-sama dengan kelompok grafiti lain.
Motivasi Membuat Grafiti
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada para bomber pada tanggal 14 Januari 2008, diketahui bahwa motivasi untuk membuat grafiti tidak lain adalah untuk memperindah kota di samping faktor sekedar menunjukkan dirinya melalui grafiti. Hal ini diungkapkan oleh Cory. Tentu pendapat ini masih menimbulkan perdebatan dalam mengidentifikasikan tentang keindahan kota. Mereka berpendapat bahwa kebersihan tidak relevan dengan keindahan. Tembok yang dicat putih bukanlah keindahan, tetapi kebersihan. Bersih bagi mereka belum tentu indah, sedangkan indah bisa dimaknai dengan bersih.
Grafiti merupakan salah satu dari sekian banyak bagian dalam bidang seni. Namun dinding dan tempat umum yang digunakan sebagai media seni dari grafiti, membuat banyak orang tidak menganggap itu sebagai seni, melainkan melihat grafiti sebagai sebuah perilaku yang merusak sarana dan kepentingan public
Sasaran utama kaum bomber adalah dinding atau tembok yang tak terawat. Tembok yang dicat putih bersih tidak pernah menjadi sasaran empuk bomber yang mengerjakan grafiti artistik. Bilapun ada, maka bisa dipastikan grafiti tersebut bukanlah grafiti artistik melainkan berupa tagging belaka. Bentuk seperti ini memang menjadi semacam ‘musuh’ bagi bomber grafiti artistik. Jangankan tembok yang dicat putih bersih, karya grafiti artistik pun mereka timpa dengan tulisan atau kata-kata yang justru semakin memperburuk citra. Oleh karena itulah, penilaian keburukan citra bersih tidak disama-ratakan kepada semua bentuk grafiti. Ada grafiti yang memang benar-benar bertujuan untuk memperindah kota, tetapi ada juga grafiti yang memang untuk merusak yang indah dan baik. Melihat tujuan grafiti artistik seperti di atas, maka pemilihan tempat pun direncanakan sebaik mungkin. Tembok yang tak terawat terlebih pada jalan-jalan utama atau strategis mereka timpa dengan grafiti artistik.
Bentuk ‘pengambil alihan’ tembok yang tak terawat tersebut menjadi bentuk kepedulian mengenai bangunan di jalan-jalan strategis yang tidak merawatnya dengan baik, sehingga menimbulkan kesan kotor dari setiap pengendara kendaraan yang melintasinya. Tembok tak terawat didefinisikan mereka, sebagai berikut:
1) Tembok yang dibiarkan kumuh, sehingga poster dan pamflet iklan sangat mudah menempelkannya. Tembok semacam ini akan segera ditimpa oleh grafiti.
2) Tembok yang dahulunya putih bersih, namun lama kelamaan memudar, bahkan warnanya cenderung kecoklatan dan kehitaman atau kehijauan karena lumut. Untuk tembok yang seperti ini, biasanya sebelum ditimpa grafiti, bomber akan mengecatnya dulu dengan warna putih untuk menimbulkan kesan segar.
3) Tembok yang dibiarkan rusak. Biasanya tembok ini dibiarkan beberapa bagiannya telah rusak dan oleh pemiliknya langsung ditindas dengan warna putih. Dalam jangka waktu ke depan, bagian yang rusak ini menjadi sangat kelihatan bentuknya dan mengurangi nilai kebersihan dan keindahan. Dengan pemberian warna, rusaknya bagian tembok bisa diminimalisir.
4) Tembok di ruang publik dan milik umum, namun tidak dirawat keberadaannya. Lokasinya yang memungkinkan publik melihat karena berada di tempat strategis menjadikan titik ini tidak berkesan indah karena tidak dirawat oleh instansi terkait. Biasanya berupa tembok di areal pertokoan, gang, dan bangunan-bangunan tak terawat.
PUSTAKA RUJUKAN
Mahayasa, I Nyoman. 2009. Grafiti Kota Denpasar. Skripsi pada Jurusan Pendidikan Seni Rupa, FBS UNDIKSHA
Myers, Bernard S. 1958. Understanding the Arts. New York: Holt, Rinehart and Winston
Nuriarta, I Wayan. 2009. Analisis Bahasa Visual Komik Naruto. Skripsi pada Jurusan Pendidikan Seni Rupa, FBS-UNDIKSHA
Read, Herbert. 1958. Education through Art. New York: Pantheon Book Inc. Rowland, Kurt. 1973. A History of the Modern Movement: Art, Architecture, Design. New York: Van Nostrand Reinhold Book
Sakri, Adjat. 1993. Seni Rupa dalam Dunia Modern. Bandung: Penerbitan ITB
Sujoko. 1992. “Mengulas Seni Nusantara”. Makalah disampaikan dalam Dialog Kesenirupaan Indonesia, Eksistensi Seni Rupa dalam Perkembangan Ekonomi di Gedung Pameran Seni Rupa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta
Sylvester, David (Ed.). 1993. The Book of Art. Vol. 8: Modern Art. London: Grolier
Yuliman, Sanento. 1990. “Batik, Sang Penjelajah”. Pokok pikiran disampaikan dalam Sarasehan Batik, 9 September 1990, di Dalem Ageng Ambarrukmo Palace Hotel, Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar