Pendekatan Bahasan Seni Rupa

 



Pendekatan Bahasan Seni Rupa


4.1 Pendekatan Bahasa Seni Rupa

Para antropolog telah lama tertarik untuk mengumpulkan data tentang hasil budaya fisik, hasil kegiatan masyarakat yang visual, yaitu karya-karya seni rupa. Bahasan para antropolog ini telah melahirkan sebutan yang kini melengkapi nama bidang kajian antropologi menjadi antropologi budaya. Batasan pengertian bidang budaya yang menjadi bagian kajian antropologi, ternyata, adalah bidang-bidang kesenian. Dari kegiatan-kegiatan tersebut lahir sebutan pendekatan entografi tetapi dengan penekanan pada perubahan pendekatan yang sekaligus sebagai revisi terhadap pola pendekatan antropolog yang hanya “sekadar” mencatat sesuatu itu sebagaimana apa adanya.

Kini, pendekatan etnografi baru telah melibatkan tinjauan yang lebih mendalam dan melebar dengan memasukkan unsur kajian yang sosiologis maupun psiklogis. Sebuah benda, dalam pendekatan etnografi tidak steril dari pengaruh latar pembuat maupun kondisi lingkungannya. Oleh karena itu, bahasan kesenirupaan bisa melibatkan sisi sosiologis masyarakat pendukungnya, juga melibatkan masalah kejiwaan pelakunya dan zamannya.

 

4.2 Pendekatan Antropologi tentang Seni Rupa

Beberapa buku membahas seni rupa dengan cara-bahas yang agak berbeda dengan bahasan buku kebanyakan. Yang dimaksud carabahas berbeda di sini adalah cara-bahas yang melepaskan pola pikir major-minor dalam penglompokan karya maupun pelaku seni rupa. Cara-bahas ini menempatkan semua karya manusia ke dalam satu padanan sebutan: arts, seni, seni rupa. Para penulis Barat yang membahas seni rupa dengan “pandangan lain” ini menampilkan karya para pedesa dan para pekota. Seni primitif yang oleh para penganut paham pengelompokan seni utama-remeh dianggap bukat Arts, di dalam buku-buku seni rupa dengan pandangan lain ini dibahas dengan kesungguhan bahasan “seni utama”.

Bentuk dan jenis karya seni rupa yang disebut oleh para antropolog atau pun penyusun buku yang lebih condong menggunakan cara pendekatan antropologis dalam bahasan isi bukunya, bisa diperiksa dalam buku-buku seperti berikut ini.

Art and Life in New Guinea (1979) yang didudun oleh Raymond William Firth, berisi bahasan tentang karya-karya seni rupa yang lebih beragam. Buku setebal 130 halaman ini menampilkan ikat pinggang, perahu, rumah, tengkorak kenang-kenang-an (skull-trophies), haluan perahu, kapak, alu batu, topeng, tas, mangkuk, sudip, tempat menyimpan kapur, pedang, pemukul (senjata), cangklong, kotak bambu, seruling, kepala tongkat, genderang, pinggiran topi, tempat duduk, tongkat tari, tameng, dan kuburan. Jenis benda yang paling banyak ditampilkan adalah haluan perahu, tameng, sudip, dan genderang.

Buku yang lebih khusus berbicara tentang seni rupa dengan pendekatan antropologi, The Anthropology of Art, terdiri atas 5 bab, 227 halaman, disusun oleh Robert Layton (1981). Buku ini berisi pembicaraan seni primitif yang langka disinggung oleh para “senirupawan” --apalagi tentang seni rupa primitif bangsa-bangsa Eropa-- dengan bahasan yang cukup mendalam. Salah satu jenis seni primitif Indonesia yang dibahas dalam buku ini adalah Seni Asmat. Benda-benda seni rupa yang disebut oleh Llayton antara lain: lukisan gua, rumah, palet, patung, ukiran mini, topeng, keranjang, piagam, hiasan tubuh, hiasan kepala, jimat, kotak minuman, kapak, terompet, dan bejana.

Setiap negara memiliki akuan tentang seni (rupa) utama --meminjam istilah paham pengelompokan seni rupa Barat. Hal itu sangat erat terkait dengan latar belakang sistem nilai dan kaidah budaya yang berlaku pada suatu negara. Dengan melihat, meneliti, memilah, mempertimbangkan, serta menilainya secara bijak dan lebih awas, kita bisa menentukan sikap penilaian terhadap hasil karya seni rupa Indonesia. Pantaskah kita masih mengganggap bahwa seni lukis, seni patung, dan seni bangun Indonesia (seperti dalam teori pemilahan yang di”comot” dari teori Barat) sebagai karya seni rupa utama (major arts).

Bangsa Indonesia memang masih harus belajar banyak dalam bersikap adil, awas, bijak, dan demokratis dalam menanggapi hasil olah pikir, rasa, dan kesadaran lingkungan masyarakat Indonesia sendiri. Nilai budaya yang mengeristal di dalam sila-sila Pancasila, khusus dalam sikap berkesenian, tampaknya masih belum menjadi sikap hidup yang nyata. Pemisahan antar pekota-pedesa, terpelajar-tak terpelajar, seniman-perajin, profesional-amatir, ahli-tukang, dan sejumlah istilah lainnya, yang tujuannya membedabedakan penghargaan terhadap pekarya seni rupa, tidak menampakkan sila Persatuan Indonesia. Padahal yang membangun negara Indonesia bukan hanya para pekota, kaum terpelajar, seniman, golongan profesional, atau para ahli semata. Kaum pinggiran, para pelaku “seni remeh”, wong cilik, tidak kalah penting peranannya dalam menegakkan tiang ekonomi negara!

Tidak disadari bahwa nama besar Indonesia, lebih khusus nama Bali yang kadang seolah “terpisah dari Indonesia di mata masyarakat mancanegara, adalah karena hasil karya para pedusun, pedesa, yang karyanyanya tidak pernah dikenal nama pembuatnya. Perlu dibuktikan, seperti apa perhatian Pemerintah Indonesia terhadap benda-benda hasil masyarakat kita? Ketika karya batik, reog (sejenis Reog Ponorogo), lagu Rasa Sayange, Tari Pendet, yang diakui oleh negara tetangga, Malaysia, secara suka cita, tidak ada upaya besar yang dilakukan Pemerintah untuk sekadar menanggapi keresahan masyarakat seni Indonesia tersebut. Jika ditelusuri lebih jauh lagi, Pemerintah masih belum menempatkan pendidikan seni sebagai bagian penting dalam kurikulum pendidikan Indonesia. Padahal kegiatan seni adalah kegiatan sehari-hari masyarakat Indonesia, bahkan menjadi andalan ekspor negara ketika migas tidak lagi menjanjikan masukan devisa negara.

Kini, ketika teknologi elektronika menjadi raja pada zaman modern, posisinya sama seperti temuan-temuan para leluhur manusia ketika berusaha “memperpanjang tangan mereka” (van Peursen) dalam mengatasi persoalan-persoalan kehidupan mereka. Tulisan berikut adalah sebuah pertanyaan dan pernyataan yang sejalan dengan kondisi masanya. Tulisan yang pernah dimuat di dalam harian Bali Post ini mempertanyakan bagaimana keluarga dalam menyikapi perkembangan teknologi masa kini.

 

4.2.1 BAGAIMANA KELUARGA MENYIASATI TEKNOLOGI?

Oleh Jajang Suryana

(Dimuat dalam Bali Post, 31 Desember 2000)

Perkembangan perangkat teknologi kita rasakan sangat pesat. Tahun 70-an, televisi masih dirasakan sebagai “kotak ajaib” yang hanya dimiliki orang-orang kaya tertentu saja. Atau, lebih ke belakang lagi, radio pun bisa dirasakan sebagai “benda aneh” yang bisa omong.

Kini, radio dan teve hanyalah benda amat biasa. Anak kecil pun bisa “menguasai” benda tersebut. Bahkan, ketika muncul komputer dan handphone, itu pun kini telah menjadi benda lumrah. Begitu banyak anak yang telah berkenalan, malah sangat akrab, dengan dunia penikmatan hasil teknologi elektronik tersebut. Menikmati radio di satu sisi hanya memberi kepuasan audio saja. Pendengaran adalah perangkat utama yang digunakan oleh seseorang ketika menikmati acara radio.

Lebih lengkap dibanding radio, teve bersifat audio-visual. Penikmat acara teve bisa lebih lengkap merasakan kehadiran penyiar, penyanyi, pelawak, atau pun bintang film dan sinetron. Dalam proses interaksi antara penikmat dengan penyaji acara, seperti pada acara radio, bisa dilakukan lewat surat dan telefon. Namun penikmat acara bisa lebih lengkap menyaksikan penyaji acara secara visual. Lewat media massa jenis ini, banyak anak yang kemudian tergila-gila dengan bintang idola mereka. Salah satu jenis acara yang menjadi sumber peniruan bagi anak-anak adalah film kartun.

 

LEMBAGA PENDIDIKAN

Banyak ahli pendidikan yang kemudian percaya bahwa media teve bisa menjadi lembaga pendidikan. Sejalan dengan peran televisi sebagai media hiburan, maka materi tayangan pendidikan yang dikemas dalam acara teve juga harus bersifat menghibur. Seperti disebutkan oleh Eduard Depari, “jika unsur kemasan diabaikan, tidak mustahil tayangan tersebut akan kehilangan daya tariknya”.

Tentang besarnya pengaruh langsung acara teve kepada penonton cukup banyak bukti yang bisa diperhatikan di sekitar kita. Film kartun, aneka cerita, keluaran Jepang dan Amerika yang banyak ditayangkan di TVRI atau teve swasta, beberapa di antaranya kemudian menjadi cerita tungguan anak-anak. Semua tayang-an, bisa dipastikan, ada nilai baik dan buruknya.

Seorang ibu bercerita tentang anaknya yang sangat terpengaruh acara tayangan teve. “Anak saya pernah retak tulang kaki hingga harus operasi. Pasalnya, dia bergaya meniru jagoan kesukaannya di televisi. Dia meniru Superman yang bisa terbang. Terbanglah dia dari balkon rumah, hingga kakinya luka”. Sisi positif menonton teve diungkapkan oleh seorang ibu. “Pengaruh baik yang kami perhatikan pada putra kami adalah selalu ingin menjaga atau melindungi seperti halnya pada perilaku tokoh jagoan idolanya”.

Dunia maya, dunia yang dibangun dalam format digital, pada dasarnya sejalan dengan pola imajinasi. Keinginan, hayalan, harapan, yang bentuknya cenderung mustahal sekalipun, bisa dikemas dalam bentuk nyata imajinasi, gambar digital. Perkembangan teknologi dampak awalnya bertalian dengan kemaslahatan umat. Tetapi kemudian, kemajuan teknologi telah turut memajukan dan menganekargamkan jenis kejahatan. Tujuan buruk pun telah dikemas sedemikian rupa hingga tampilannya tetap terselubung dalam bungkus mainan. Kekerasan yang menjadi pola film animasi keluaran beberapa perusahaan software dan komik Jepang, misalnya, yang mengandalkan penyelesaian cerita dengan pembunuhan, sangat “disukai” oleh anak-anak kita. Tentu, gaya cerita seperti itu, akan diserap dan ditimbun anak dalam memorinya. Pelaku pembobolan bank dan keamanan negara, seperti di Amerika, adalah anak-anak muda yang iseng-iseng menyusup ke dalam website bank dan biro keamanan negara. Belum lagi, para pembuat virus dan worm (istilah sejenis virus di internet), adalah para pemuda juga. Di Indonesia, baru sebatas pengaruh dunia cerita saja yang banyak diserap oleh kebanyakan anak-anak masa kini.

Dunia robot seperti pada cerita Pokemon dan Digimon, dalam batas-batas tertentu banyak memberi sumbangan imajinasi teknologis yang lumayan kepada anak-anak. Entah bagaimana kreatifnya para pedagang mainan anak-anak dalam memanfaatkan tokoh yang sedang digandrungi oleh anak-anak. Dunia Mickey Mouse, Donald Duck, Power Ranger, Ninja Hatori, dan Doraemon yang juga pernah diolah para pedagang, sedikit demi sedikit digeser oleh ketenaran para robot Pokemon. Buku tulis, buku bacaan, kartu mainan, permen, kancing tempel, tas sekolah, kaos anak-anak, alat-alat makan, bahkan pelapis tempat tidur dan bantal, semua dihiasi gambar tokoh-tokoh Pokemon. Orang tua tak bisa menahan hasrat anak-anak untuk secara te-rus-menerus melengkapi “koleksi” bendabenda kesukaan yang kemudian akan menjadi benda kebanggaan anak di antara lingkungan temannya. Lingkungan teman sebaya telah lebih kuat memberi pengaruh kepada mereka.

 

PERLU BIMBINGAN

Arus pengaruh teman sebaya tak bisa dibendung oleh orang tua. Atau, kalau orang tua tetap mau membendungnya, pengaruh itu tetap juga akan luber tak terkendali. Lebih baik orang tua turut menyusun jalan-jalan penyalurannya, agar bah pengaruh itu bisa lebih sehat alirannya. Orang tua wajib peduli dengan kesenangan anak-anak. Kalau perlu, orang tua bisa melakukan diskusi dengan anak-anak tentang mainan-mainan kesenangannya.

Membiarkan anak mengeksplorasi dunianya adalah tindakan bijaksana. Tetapi, bimbingan, arahan, dan penyaluran merupakan kunci pengaman yang bisa dibentuk oleh orang tua. Orang tua adalah pengawas, pemilah, dan sekaligus fasilitator bagi kebutuhan eksplorasi anak. Biarkanlah anak mengurusi dunianya. Orang tua tidak bijaksana bila turut campur menentukan isi dunia anak. Jadilah wasit yang bertanggung jawab, yang bisa memfasilitasi lalu lintas imajinasi anak. Bukankah ketika kita, para orang tua, masih dalam usia anak-anak, kita selalu diberi kebebasan bermain, dan lahan bermain kita tidak pernah dijajah orang tua kita.

 

4.3 Pendekatan Sosiologi tentang Seni Rupa

P.J. Bouman (1954), dalam bukunya Sosiologi Pengertian dan Masalah, pada salah satu bagian bukunya menulis tentang sosiologi seni, di samping tentang sosiologi agama, sosiologi kebudayaan, dan sebagainya. Bouman menunjuk bahwa perhatian para sosiologist dalam membahas seni adalah mengenai: 1) sampai seberapa jauh ciptaan seniman menunjukkan pengaruh sosial, 2) gema sosial ciptaan seni, 3) kedudukan seniman dalam masyarakat, dan 4) bagaimana masyarakat menghargai, menyebarkan, atau menghimpun hasil-hasil seni.

Bila disimpulkan, penulis tadi menunjuk keterkaitan antara seni (penggubah seni, karya seni) dengan keadaan masyarakat (penikmat seni dan pemerhati atau pengemat seni). Pada kenyataannya, seniman atau penggubah karya seni, siapapun dia, pedesa ataupun pekota, selalu menanggapi lingkungan sebagai sumber inspirasi dalam proses penggubahan karyanya. Bahkan, dalam karya-karya seni tradisional, gambaran lingkungan sangat kental. Semua masyarakat pendukung suatu kesenian tradisional tertentu akan merasa menjadi bagian dari sistem nilai yang ada dalam kesenian tersebut.

Bouman menegaskan: “Sosiologi kesenian dapat memberi gambaran tentang keadaan2 jang menjuburkan tumbuhnja beberapa pernjataan seni tertentu, tetapi tidak pernah dapat ‘menerangkan’ bagaimana terdjadinja bentuk2 seni.Ia harus membatasi diri pada penjelidikan kesenian sebagai eksponen kesatuan djiwa kelompok, dengan tiada berhak untuk ingin menembus sampai proses psychologis jang terdjadi pada setiap seniman (meskipun ia mewakili fikiran kelompok)”.

Secara sosiologis, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang santun, suka menghargai se-sama, mementingkan kebersamaan, erat ikatan batinnya dengan tradisi, dan sejumlah ciri sosiologis lainnya. Masyarakat Indonesia, pun sebagian telah menjadi masyarakat kota besar yang mulai memiliki ciri-ciri sosiologis masyarakat kota besar, bahkan untuk lingkungan tertentu telah menampakkan ciri masyarakat metropolis kotakota besar dunia. Radio, televisi, dan kini, nternet dan telefon seluler, telah mengubah sedikit demi sedikit pola kehidupan masyarakat tatap-muka menjadi msyarakat seluler, serba saluran elektronis.

Ketiadaan sebuah telefon genggam, misalnya, telah membangun kekhawatiran yang aneh dibanding jauh dari anggota keluarga. Anak-anak muda telah menjadi konsumen kartu seluler yang telah menjadi sangat murah. Perhatikan bagaimana bangsa ini kurang menghargai peninggalan para leluhur. Banyak kalangan yang memakai ras dan pikir untuk masa datang ketimbang merasa terikat dengan masa lalu. Seakan-akan masa lalu telah dilepas begitu saja tanpa sisa, sekadar ingatan sekalipun!

Masyarakat yang kini disebut sebagai masyarakat tradisi, pada zamannya adalah kelompok masyarakat pekota. Tetapi karena perubahan zaman, terjadi pergeseran dalam penyebutan posisi mereka. Sebagaimana ketika masyarakat masa kini sadar bahwa teknologi adalah milik mereka, hasil capaian mereka dalam mengolah alam lingkungannya, hal itu menjadi hal yang sama pada kelompok masyarakat lainnya dalam kurun waktu yang berbeda. Tradisi tidaklah mengacu waktu melainkan menyangkut kondisi. Sebagaimana sebutan primitif yang selalu dihindari teoretisi seni Eropa untuk menyebut kondisi masyarakat mereka, kondisi itu bisa kita temukan pada masyarakat masa kini yang telah dianggap postmodern.

 

4.3.1 SADAR DUNIA ANAK-ANAK

Oleh Jajang Suryana

(Dimuat dalam Sinar Harapan, 12 Maret 2002)

Anak-anak masa lalu, adalah anak-anak yang sangat dekat dengan alam. Mereka bermain dengan alam. Mereka merespon alam. Mereka bagian dari alam. Anak-anak masa kini, tetap bagian dari alam, merespon alam, dan bermain dengan alam. Tetapi, banyak orang tua yang boleh jadi merasa, alam yang diakrabi oleh anak-anak masa kini adalah alam yang sempit cakupannya. Bahkan, banyak perangkat alam yang justru dianggap tidak alamiah. Artinya, perangkat yang disukai sebagai alat bermain oleh anakanak masa kini adalah perangkat alam milik lingkungan orang lain, milik bangsa lain, milik budaya bangsa lain.

Memang, dulu, selokan di pinggir rumah masih berair jernih dan dipenuhi ikan-ikan kecil yang lucu-lucu. Kini, jenis ikan kecil tersebut, boleh jadi, telah men-jadi hewan langka. Kini, sungai di pinggiran desa tidak bisa dipakai mandi atau bermain air berlama-lama. Semua orang takut terkena gatal sisa buangan sampah rumah tangga, apalagi buangan bekal pabrik. Begitu pun, ketika musim mewuluku tanah sawah tiba, anak-anak tidak bisa secara bebas ikut serta bermain lumpur di sawah. Bermain lumpur pada masa kini dianggap sangat tidak sehat. Keceriaan anak-anak telah berganti rupa karena lingkungan alam telah habis dijadikan lingkungan baru yang tidak ramah kepada anak-anak. Saat bulan purnama tidak pernah memberi pengaruh apa pun kepada anak-anak masa kini. Masa panen (tanaman maupun ikan) telah jauh dari lingkungan anak-anak modern.

 

DUNIA ROBOT

Dunia robot, dunia masyarakat industri dan teknologi tinggi, telah “akrab” menjadi teman bermain anak-anak Indonesia masa kini. Dari mulai anak-anak kota besar yang telah lebih dahulu kenal dengan pesawat teve berantena parabola dan aneka komik ekspor, yang kini berlanjut kenal dengan mesin komputer serta program internet, hingga anak-anak kampung di sisi gunung yang secara nasib ketiban pulung keluarganya menjadi OKB karena pengaruh situasi reformasi, telah begitu dekat juga dengan robot. Ya, meskipun hanya kenal robot maya, robot animasi, robot gambar, mereka begitu nikmat “memilikinya”.

Pokemon dan Digimon, yang kerap menjadi bahan obrolan anak-anak sekolah dasar, ternyata, lebih banyak hasil pengaruh merebaknya penggunaan play station, juga produk Jepang. Compact disk (CD), bentuknya bisa VCD maupun CD-Games khusus komputer, telah menjadi barang murah. Bahkan, munculnya warung-warung penyewaan perangkat play station (hardware maupun software), telah menyuburkan hidupnya budaya cerita dan mainan masyarakat mancanegara seperti Jepang.

 

KARTUN

Film kartun atau anime yang beredar di sekitar masyarakat penonton teve Indonesia, kini, lebih banyak produk Jepang. Bisa kita saksikan, ternyata, tidak semua film kartun ditujukan untuk konsumsi anak-anak. Terbukti, banyak film kartun Jepang yang tema ceritanya tentang percintaan remaja. Di samping film kartun percintaan, atau paling tidak disisipi adegan “wah”, banyak juga film kartun kekerasan. Musuh adalah objek pembunuhan. Musuh harus “diselesaikan” dengan cara dibunuh, bahkan dihancurleburkan. Dan, menonton jagoan membunuh musuh, bagi anak-anak, adalah hal yang amat biasa. Bahkan, membunuh musuh adalah “keharusan”, yang bisa menyebarkan rasa puas, rasa senang, rasa plong.

Tampaknya, kita sudah mulai banyak kehilangan milik kita sendiri. Kita lebih percaya diri jika kita memanfaatkan produk bangsa lain, termasuk sarana menanamkan nilai kepada anak-anak. Sarana bermain bagi anak-anak kita, yang bersifat bacaan, tontonan, dengaran, maupun pakaian, hampir semua adalah produk luar. Sejak lama Made in China menjadi trade mark aneka jenis mainan yang masuk ke Indonesia. Sekadar mainan sederhana dari bahan plastik bekas sekalipun. Rakyat China sangat kreatif. Entah dengan tuntutan dan cara apa pemerintah mereka bisa menggugah individu-individunya untuk berkarya dan berkarya. Dulu, pernah ada sejumlah jenis mainan buatan masyarakat Indonesia yang diekspor ke negara-negara tetangga. Tetapi, kelanjutan kegiatan itu, tidak pernah kedengaran lagi ceritanya. Lalu, akankah kita hanya menjadi masyarakat pengguna hasil gubahan orang lain semata?

Pemerintah masih mengganggap bidang seni rupa hanya sebagai bidang kegiatan pengisi waktu luang yang nilai ilmiahnya sangat jauh bila dibandingkan dengan sains. Begitu pun hasil devisa yang didapat dari penjualan benda-benda seni rupa, masih ditafsir sebagai hasil pengembangan bidang pariwisata. Artinya, devisa negara dari penjualan barang seni rupa secara bengis diaku sebagai devisa dari bidang pariwisata. Mendiamkan potensi kreatif anak-anak kita, membatasinya dengan makanan kreativitas bangsa lain, sungguh perbuatan yang tak bijak.

 

4.4 Pendekatan Psikologi tentang Seni Rupa

Pendekatan psikologi terhadap seni lebih cenderung berupa kajian estetis yang dikaitkan dengan perilaku dan pengalaman manusia dalam pengolahan, penikmatan, ataupun pe- ngaruh seni. Para ahli psikologi mengenal dua bentuk pendekatan psikologis: Pendekatan Gestaltism (The Psychology of Vision, Psikologi Cerapan) dan pendekatan Psikologi Analitik. Dalam buku ini lebih khusus akan dibahas dibahas pendekatan yang kedua, pendekatan psikologi analitik dari Carl Gustav Jung.

Dalam pembicaraan psikologi analitik, khususnya ketika membahas seni modern, kita akan menemukan sebutan extraverted (model perilaku yang bersifat subjektif). Extraverted, sikap ekstravet, adalah bentuk lain untuk menyebut tampilan seni yang (dianggap) bersfat universal. Introverted (kebalikan dari kondisi ekstravet), sikap intovet, digunakan untuk menyebut tampilan karya seni yang bersifat individual.

Seni modern merupakan gambaran pikir masyarakat industri yang sekular (lihat juga bahasan tentang Desain Sesudah Modernisme, kutipan dari bagian laporan skripsi Meiyani Hertanto). Di dalamnya terdapat pemisahan fenomena estetik, otonom, dan terpisah dari pranata sosial dan masyarakat umum. Karena memisahkan diri dari masyarakat umum, seni modern sering dianggap tidak akrab dengan masyarakat.

Kaum modernis berpandangan bahwa kegiatan seni adalah upaya yang terus menerus menegakkan kualitas estetis. Paham modernis ini melahirkan nilai dan norma yang menjadi acu-an: nilai kebaruan, bersifat material, dan terindera. Nilai keaslian melahirkan individualitas (menurut mereka) sekaligus universalitas. Kedua nilai tersebut menuntut tingkat kreativitas yang tinggi kepada para senimannya.

Konsep sikap yang dirumuskan oleh Jung, pada dasarnya terdiri atas tiga pokok bahasan. Pertama, konsep arketif (archetype), yaitu konsep keseduniaan (universality) manusia dalam peng-alaman nyata dan imajinasi. Jung mendefinisikan istilah arketif ini sebagai gambaran ruhanian dari dorongan-dorongan naluri jasmaniah. Kedua, konsep ego dan self. Ego menggambarkan sesuatu yang utama, yang bertalian dengan identitias, batas dan kemampuan perorangan. Sedangkan self bertanggung jawab terhadapa pengalaman simbol-simbol keutamaan, perasaan, dan kesadaran. Ketiga, konsep individuation, yaitu kemampuan memadukan sejumlah aspek proses kesadaran, ketidaksadaran, dan hayalan yang membimbing seseorang kepada kesadaran di luar ego (kesadaran transendental) bukan hanya sekadar pengalaman keunikan individualnya saja. Merujuk ciri-ciri tipe psikologis yang dikemukakan oleh Jung, bertalian dengan pelaku seni modern, secara garis besar terdiri atas empat kelompok seperti berikut.

 

Realisme, Naturalisme, dan Impressionisme

Kelompok seniman yang menganut tiga aliran seni ini mengutamakan unsur pikir dalam kegiat-annya. Tampilan kelompok ini menunjukkan sikap peniruan terhadap dunia-luar alam. Tampil-an utama karya yang dilatari ketiga aliran ini adalah sesuatu yang nyata. Kenyataan inilah yang menuntut unsur pikir karena peniruan bentuk real, natural, maupun impression adalah peniruan terhadap bentuk-bentuk yang ada di alam. Walaupun kemudian ada penambahan tertentu, ikatan bentuk-bentuk yang nyata sebagai unsur utama dalam model atau objek benda yang ditiru tetap ketat. Sesuatu yang nyata tampak jelas dalam bentuk-luar objek.

Superrealisme dan Futurisme

Peranan sensasi sangat kuat dalam konsep kegiatan kelompok ini. Mereka menunjukkan perhatian terhadap nilai-nilai spiritual dalam memanggapi dunia-luar alam. Dunia-luar, bagi ke-lompok ini, masih menjadi perhatian yang utama. Mereka menggunakan sensasi bentuk nyata dengan menambahkan unsur-unsur tampilan yang luar biasa, berlebihan, bahkan menampakkan kondisi yang ada di luar dunia nyata.

Fauvisme dan Expressionisme

Peranan sesnsasi sangat kuat dalam konsep kegiatan kelompok ini. Karya mereka menampilkan kerinduan terhadap sensasi rasa perseorangan senimannya. Senimanseniman ini mengutamakan subjektivitas dirinya dalam mengolah karya.

Cubisme, Constructivisme, dan Functionalisme

Bagi kelompok ini, intuisi menjadi titik pusat konsep berpikir mereka. Mereka menunjukkan keasyikan dengan bentuk-bentuk mujarad (abstrak).

Kelompok pertama memiliki latar sikap objektif senimannya. Bentuk-bentuk alam menjadi dasar tiruan: fotografis maupun impressionistis. Keberadaan objek mengontrol kegiatan jasmani. Seluruh perhatian seniman ditujukan hanya untuk meneliti kepastian objek. Faktor bawah sadar dan kejiwaan seniman mungkin bisa tersalurkan melalui pengaturan komposisi dan warna.

Kelompok kedua mengagungkan imajinasi. Imajinasi yang menguasai perasaan seniman ke-lompok ini bisa imajinasi figuratif maupun nonfiguaratif. Seniman kelaompok ini, yang memiliki sifat ekstrovet, harus bersetuju dengan kenyataan dalam memanipulasi materi untuk memenuhi tuntutan imajinasinya. Mereka menyalurkan ciri pribadinya ke dalam objek, sehingga objek yang ditampilkan bisa mewakili dirinya. Tetapi yang memiliki sifat introvet, mereka le-bih mementingkan otomatisasi perasaan yang dikuasai alam bawah sadarnya.

Kelompok ketiga dilatari sikap objektif dan subjektif. Sensasi yang memotori sikap mereka, pada kelompok yang ekstravet, sangat dibatasi keadaan objek. Tetapi, seperti ditemukan oleh Jung, reaksi terhadap objekbukan pada kenyataannya, bukan pula pada tampilan dangkal, melainkan pada nilai sensasinya. Kualitas rasional dan spiritual di kesampingkan. Objek sebagai hasil pengalaman penginderaan, ditampilkan dengan titik berat pada derajat sensasi. Kelomok yang bersikap introvet lelbih dikenal dengan sebutan tipe haptic. Tipe ini, tentu saja, lebih banyak merupakan sifat bawaan.

Kelompok keempat menempatkan intuisi sebaai penggerak utama sikap berpikir mereka. Ke-lompok ini bisa dikatakan cenderung menampilkan sikap introver, intuisi seniman tidak langsung berhubugnan dengan bentuk eksternal, di luar ekspresi. Ada kelompok yang bisa disebut sebagai kelompok dengan sikap ekstravet. Hal tersebut tampak pada jenis tampilan karya arsitektur fungsional dan dalam sejumlah seni industri.

 

4.5 DESAIN SESUDAH MODERNISME

Oleh Meiyani Hertanto, S.Sn.

(Bagian kecil dari laporan skripsi Desain Sesudah Modernisme di FSRD ITB)

Pada dasarnya, tidak ada kesepakatan yang ketat tentang kapan tepatnya awal pemunculan Modernisme atau Erakan Modern ini. Para kritikus lazim menunjuk masa Revolusi Industri di Eropa pada pertengahan abad 18 hingga 19 sebagai pemicu awal terjadinya perubahan-perubahan mendasar dalam pola kehidupan dan tatanan masyarakat Barat, baik di bidang ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Pada masa ini dasar kehidupan manusia modern mulai dibentuk, baik melalui struktur sasyarakatnya maupun struktur industrinya. Berbagai perubahan besar-besaran terjadi sebagai akibat diterapkannya alat dana tenaga permesinan dalam proses produksi, seperti pendirian pabrik-pabrik tempat kerja yang terpisah dari rumah, terciptanya kelas buruh dalam masyarakat, pertumbuhan kota dana masyarakat sub-urban, serta tumbuhnya konsumerisme dengan meningkatknya taraf hidup dan tersedianya barang-barang produksi massa hasil industrialisasi.

Secara teori dan dari sudut pandang etis politis, Art Nouveau dapat dikatakan bertujuan menyatukan seni dan teknologi dalamkehidupan sodial sehari-hari. Namun secara praktis dan dari sudut pandang budaya, aliran ini sering dianggap sebagai ‘reaksi panik’ kaum borjuis terhadap dampak industrialisasi yang semakin dominan, yaitu dengan terbentuknya selera pasaran karena melimpahnya barang-barang yang dulunya hanya bisa dikonsumsi oleh orang-orang kaya. Dengan semangat revivalisme Barok dan Rokoko, semangat pemujaan kepada alam, serta pengaruh seni dari Timur khususnya Jepang, para perancang menjadi sibuk mendekor benda-benda atau mengeksploitasi bahan dengan bentuk-bentuk lengkung yang sangat kaya ornamentasi, hingga aliran ini sering juga disebut “the Feminine Art”.

Memasuki dekade awal abad 20, lengkung-lengkung Art Nouveau yang telah merambah ke hampir segala jenis produkdesain dan arsitektur seakan-akan mengalami kejenuhan dan me-munculkan semacam ‘reaksi balik’. Di kalangan arsitek dan pendesain terdapat kesamaan kecenderungan untuk meninggalkan konsep lama’menempelkan’ seni pada permukaan benda-benda, karena hal itu dipandang tidak lagi sesuai dengan tuntutan jaman. Era industri dan mekanisasi yang tak terbendung lagi telah memaksa kaum perancang untuk mengubah cara pandangnya terhadap fenomena mesin serta produkproduk yang dihasilkan, bukan dengan mengelabuinya dengan ornamentasi, melainkan dengan menciptakan perpaduan yang rasional antara konsep seni dan industri, antara aspek estetika dan teknik.

Merunut faktor-faktor penyebab munculnya prinsip desain modernisme sebenarnya sangatlah kompleks, seperti halnya dengan menentukan kapan awal pemunculannya. Secara garis besar beberapa faktor pendukung bisa disebutkan berikut ini: Pertama, industrialisasi bersamaan dengan berkembangnya kapitalisme telah mendorong lahirnya ‘kelas menengah’ baru yang cukup makmur. Kebutuhan dan kemampuan dalam pemilikan barang-barang menjadi semakin luas ke berbagai lapisan masyarakat. Dengan alasan untuk memenuhi tuntutan ‘demokratisasi’ ini maka diperlukan desain-desain yang sederhana dan terstandarisasi sehingga bisa diproduksi secara massal dengan harga yang terjangkau, serta tidak mewakili selera kelas tertentu (impersonal).

Kedua, kemajuan teknologi telah memunculkan sejumlah fungsi baru dalam kebutuhan hidup masyarakat modern, sedang fungsi-fungsi lama mengalami transformasi. Tipe-tipe bangunan yang sebelumnya tidak dikembangkan seperti pabrik, gedung perkantoran dan pertokoan, rumah sakit, sekolah dan hotel besar merupakan tantangan baru dalam bidang arsitektur. Sedang revolusi gaya hidup yang ditandai dengan berperannya rumah-rumah ‘sub-urban’, rumah tanpa pembantu, penggunaan peralatan listrik seperti radio, televisi, alat pembersih debu, lemari es, dan sebagainya, telah menimbulkan problem-problem baru dalam perancangan dan penataannya.

Ketiga, ditemukannya metode pengolahan dan teknik penggunaan bahan-bhan mterial baru. Dengan menggunakan material baja, beton bertulang dan kaca lebar, desain arsitektur dimungkinkan untuk mengeksploitasi bentuk-bentuk baru yang tadinya tidak dikenal, seperti bangun-an berkantilever atau gedung-gedung pencakar langit dengan kerangka baja dan selaput dinding kaca (curtain wall). Desain industri juga makin berkembang melalui sejumlah eksperimentasi dan eksplorasi bahan, seperti berbagai jenis plastik, serat gelas (fibre glass), logam ringan se-jenis aluminium atau campuran (alloy), baja tak berkarat (stainless steel), pelengkungan kayu lapis (laminated bentwood) dan sebagainya.

 

Pokok-pokok Gagasan dalam Modernisme

Pokok gagasan Modernisme lazim disebut juga ‘rasionalisme’, dan dalam penerapannya dapat dijabarkan lagi dalam beberapa ‘turunan’nya.

a.        Fungsionalisme

Salah satu aspek rasional desain adalah apabila ia mampu memenuhi sasaran praktisnya, yaitu fungsional. Meskipun nilai fungsi selalu melekat dalam konsep desain dari sejak awal, namun dalam pendekatan Modernisme, aspek ini menjadi gagasan yang diutamakan. Fungsi sebuah desain atau elemen desain juga secara jujur direfleksikan bahkan diekspresikan oleh bentuk tanpa ditutup-tutupi atau dibuat-buat. Fungsionalisme dengan demikian dinilai sebagai pemenuhan kualitas sebuah desain. Selebih dari itu, akan dinilai sebagai ‘pemborosan’ pada hal-hal yang tidak fungsional.

Ada beberapa analogi pembenaran dalam penerapan paham fungsionalisme ini. Pertama adalah analogi ‘biologis’,yaitu para perancang mendasari pengamatannya pada alam dan bentuk-bentuk mahluk hidup. Analogi yang lain adalah analogi ‘mekanis’. Dalam analogi ini, pengamatan para perancang didasarkan pada bentuk-bentuk hasil kemajuan teknik seperti kapal, pesawat terbang, bendungan atau jembatan. Bentuk-bentuk ini dikagumi karena ‘form fitting’, mempunyai bentuk yang apa adanya, tidak berlebihan serta efisien, ‘pas’ sesuai dengan fungsinya.

 

b.      Estetika Mesin

Modernisme muncul dalam semangat industri dan mekanisasi. Estetika mesin merupakan hasil penggabungan antara konsep seni dengan industri, yaitu kaidah-kaidah yang muncul dalam tuntutan rasionalitas industri. Nilai estetikanya mengacu baik pada bentuk mesin itu sendiri yang lugas, fungsional, tanpa ornamen atau dekorasi; sifat dan cara kerja mesin yang rasional dan efisien; serta pada benda-benda yang dihasilkan oleh sistem kerja mesin, yaitu sederhan, presisi dan terstandarisasi. Maka bentuk-bentuk desain yang dihasilkan adalah bentuk yang sederhana (simple), bersih (clean), dan jelas (clear). Bentuk permukaan yang polos dianggap lebih mudah dan efisien dalam pembuatan dan perawatannya, serta mampu memberikan kepuasan estetis yang lebih ‘jujur’ dan menyatu.

 

c.       Kebenaran dan Kejujuran

Salah satu konsekuensi cara berpikir rasional yang merupakan dasar pendekatan desain Modernisma adalah kebenaran dan kejujuran. Maka kaum Modernis juga menganut pandangan bahwa rancangan yang baik adalah yang mempu menampilkan nilai-nilai kebenaran (truth) serta kejujuran (honesty) baik terhadap fungsi, material, maupun struktur/konstruksi. Hal ini sejalan dengan metode kerja ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam ilmu pengetahuan, kebenaran dan proses dinilai melalui ‘keabsahan’ atau validitasnya yang mampu dibuktikan secara nyata/empiris.

Namun demikian perlu juga dikemukakan di sini bahwa konsepsi tentang ‘kebenaran dan kejujuran’ yang diajukan para penganjur Modernisme ini, sebenarnya sulit unutk diterima sebagai kategori ‘rasional-teknis’. Karena, bagaimanapun ‘kebenaran dan kejujuran’ adalah konsep yang sangat bersifat moralis-ideologis dan berlaku normatif.

 

d.      Gaya Universal

Pemunculan Modernisme, yang didasarkan pda pendekatan-pendekatan yang rasional, fungsional dan terukur, serta di dalamnya terkandung nilai-nilai kebenaran dan kejujuran, dianggap memenuhi pencarian gaya yang sesuai dan mampu mewakili semangat jaman modern ini (Zeitgeist = spirit of the age). Karenanya, dengan dasar asumsi bahwa semua kebutuhan manusia bisa dirasionalisasikan, desain modern harus mampu merupakan jawaban paling benar bagi semua persoalan desain yang muncul di semua tempat yang berlaku untuk semua orang di segala waktu (universal).

Hal ini terlihat dari berbagai eksperimen desain yang dilakukan par tokoh Modernisme dalam mencari bentuk desain baku (type-form), yang didasarkan pada pandangan bahwa desain yang baik adalah desain yang dengan tegas mampu memenuhi satu fungsi utama saja, sehingga dengan demikian desain tersebut seakan-akan sudah tidak dapat atau tidak perlu dikembangkan lagi, karena yang selebih dari itu akan dianggap sebagai tidak esensial atau tidak efisien.

Dalam usaha penyebaran Modernisme sebagai suatu ‘totalitas’ gaya yang universal inilah, para pendukungnya mereas perlu untuk menggunakan konsepsi-konsepsi moralistik seperti kebenaran dan kejujuran sebagai justifikasi ideaologisnya.

 

Dinamika Perkembangan Modernisme

Modernisme merupakan sebuah garya atau aliran yang tunggal, dan bisa dengan sederhana dan tegas ditunjukkan definisi serta batasan-batasannya. Dalam perkembangan sejarahnya ternyata Modernisme tidak selalu berjalan dalam garis sejarah yang lurus atau dengan pemahaman yang selalu seragam. Sejarawan arsitektur C. Norberg Shulz, dalam bukunya Meaning in Western Architecture, bahkan tidak menggunakan istilah “modern” dalam pembabakannya, melainkan menganggap bahwa paham yang dominan pada paruh pertama abad ini adalah “Fungsionalisme”.

Sangat banyak teori desain yang disumbangkan Bauhaus pada perkembangan desain dan arsitektur modern secara keseluruhan, mulai dari simbolisme estetika abad modern me-lalui bentuk-bentuk geometris hingga pendekatan fungsionalisme murni yang ‘tanpa gaya’. Melalui Bauhaus pula sepat timbul dua cabang aliran dalam arsitektur Modernisme, yaitu ekspresionisme dan rasionalisme.

Salah satu upaya ‘memperbaharui’ cara pandang ini dicoba dilakukan oleh Charles Jenkcs dengan membuat semacam ‘peta evolusi’ dari perkembangan gagasan Modernisme, yang dipahami sebagai sebuah ‘Gerakan Kemodernan’ yang pluralistik. Dalam pemetaannya yang cukup rumit, Jencks mengaitkan arsitektur dengan sikap politik. Alasannya: Pertama, para srsitek modern telah semakin tergantung pada pola kerja kolektif yang dikuasai dan ditentukan oleh kalangan pemerintahan maupun bisnis korporasi raksasa; kedua, arsitek sebenarnya mempunyai potensi untuk melakukan perubahan dalam masyarakat karena arsitektur mempengaruhi car dan sikap hidup manusia yang selalu bersentuhan dengnnya; ketiga, arsitektur adalah ‘seni politik’ yaitu karena arsitektur secara eksplisit merupakan perwujudan dari dunia publik dan nilai-nilai sosial dan budaya yang hidup di dalamnya.

Menurut Jencks, gagasan-gagasan yang muncul dalam arsitektur modern berkembang secara evolusioner dalam 6 tradisi politik, tanpa pernah benar-benar mengalami kepunahan namun sekadar mengalmi ‘pasang surut’ dan perubahan bentuk (transformasi), atau merupakan overlapping dari satu tradisi dengan tradisi lainnya. Secara ringkas keenam tradisi tersebuat adalah sebagai berikut:

a. Tradisi Idealis

Merupakan sentral dari apa yang lazim kita kenal sebagai Modernisme. Gagasan-gagasan dalam tradisi ini sangat didasari oleh idealisme-idealisme, baik idealisme sosial maupun idealisme dalam mencapai kesempurnaan bentuk.

b. Tradisi Kesadaran (Self Conscious)

Tradisi ini mengutamakan idealisme seperti tradisi pertama, tapi dengan kesadaran yang sa-ngat berlebih-lebihan (hyperconscious), misalnya ada usaha untuk mencapai nilai keabadian melalui monumentalitas, atau penonjolan inovasi-inovasi teknologi.

c. Tradisi Intuitif

Penekanan gagasan dalam tradisi ini adalah pada kebebasan ekspresi, imajinasi, dan kreativitas individual.

d. Tradisi Logis

Ciri tradisi ini adalah dengan sistematika dan perhitungan yang sempurna berusaha mewujudkan utopi-utopi teknologis secara sangat rasional.

e. Tradisi Ketaksadaran (Unself Conscious)

Dinamakan demikian karena sikap dalam tradisi ini didasarkan pada sistem produksi massa atau pre-fabrikasi yang bukan lagi dikuasai manusia secara individu/personal.

f. Tradisi Aktivis

Gagasan-gagasan dalam tradisi ini sangat menekankan pada tujuan-tujuan sosial atau sebagai agen perubahan sosial.

 

Jencks mengakui bahwa pengelompokan politik ke dalam 6 tradisi ini merupakan penyederhanaan dari kenyataan sesungguhnya yang lebih rumit. Dari keenam tradisi ini kemudian dapat ditarik kesamaan-kesamaan asumsi sehingga secara ringkas seluruh gagasan tersebut dapat dibedakan ke dalam 2 kutub yang berlawanan namun saling melengkapi, yaitu gagasan tentang kesamaan dan keadilan sosial lebih dianut dalam Tradisi Aktivis, Unself Conscious, Logis, dan Idealis; sedangkan tradisi Self Conscious, Idealis dan Intuitif, lebih mengacu pada kebebasan otonomi dan ekspresi estetik.

Dualisme antara kebebasan dan keadilan merupakan dua kutub yang tak mudah terdamaikan dalam praktik, namun kualitas komplementer keduanya secara dialektis selalu mewarnai perdebatan dan pencarian alternatif bagi persoalan desain modern maupun persoalan sosial secara umum.


Komentar

Postingan populer dari blog ini